BAB 1
ETIKA DAN SEJUMLAH PENGADAIAN NORMATIF
A.
PERMASALAHAN ETIKA SOSIAL
Dilihat
dari kedudukannya, manusia dapat berditri sendiri sebagai pribadi yang mandiri
dan juga dapat berdiri sebagai mahluk Tuhan. Kemudian, dilihat dari sapek
sifatnya, kita dapat dibedakan menjadi sebagai berikut.
1. Mahluk
Individu
Manusia memiliki sifat terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa
ia memiliki karakter kepribadian serta memiliki pendirian.
2. Mahluk
Sosial
Sifat sosial terutama terlihat dari adanya keinginan manusia untuk
hidup bersama dengan manusia lainnya, berkomunikasi dan berbagi rasa dengan
orang lain.
Perbedaan
di atas menghasilkan dua kutub paham tentang manusia, yaitu paham individualisme dan paham kolektivisme. Di samping itu, juga
muncul pemilahan sifat manusia yang tercakup dalam pengertian egoisme dan altruisme. Egoisme merujuk
pada kecendrungan manusia untuk mementingkan diri sendiri tanpa peduli atas
hukum dan kewajibannya. Sebaliknya altruisme
berkenan dengan ciri manusia untuk berbuat demi kepentingan orang lain.
Tujuan
etika adalah memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam
kebutuhannya yang riil yang secara susila dapat dipertanggungjawabkan. Etika
sosial lebih banyak mengundang perdebatan karena masalah-masalah yang ada di
dalamnya lebih mudah menimbulkan beragam pandangan dibandingkan dengan etika
individual.
Persoalan
etika sosial menyeruak karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat modern
berbarengan dengan globalisasi masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Sebuah buku menarik yang disunting oleh Mappes dan Zembaty membahas
berbagai permasalahan yang demikian luas, sejak kebebasan pribadi, hak-hak
asasi, kemiskinan dan kelaparan, hingga pornografi, konservasi alam dan
lingkungan.
Kebebasan
dan hak asasi manusia serta-merta diperdebatkan apabila itu menyangkut
kepentingan sosial. Umumnya disepakati bahwa hak yang paling mendasar bagi
manusia atau yang sering disebut hak asasi mencakup tiga komponen berikut.
1.
Hak Hidup
Pengesahan tentang hak asasi ini akan melindungi setiap manusia
dari penggunaan kekerasan dari orang lainnya, antara lain hukum-hukum yang
melarang pembunuhan, membuat cacat orang lain, pemukulan atau segala macam
kekerasan fisik lainnya.
2.
Hak Bebas
Jaminan kebebasan pribadi menyangkut kebebasan untuk berbicara,
kebebasan pers atau kebebasan untuk hidup secara damai. Oleh karena itu, suatu
sistem sosial yang baik hendaknya mengurangi sedikit mungkin penyensoran ide,
buku atau aktualisasi diri seseorang.
3.
Hak Milik
Hak milik merupakan jaminan atas perlindungan orang dari tindakan
penyitaan, perampokan, nasionalisasi, penggelapan atau pelanggaran paten.
Setiap manusia terlahir dengan
hak-hak asasi beserta kebebasan untuk memilih yang melekat dalam dirinya. Akan
tetapi kebebasan itu menjadi terbatas apabila seseorang berada di tengah suatu
sistem sosial. Sekiranya setiap orang menuntut kebebasan mutlak bagi dirinya
maka tak bisa dibayangkan betapa kacaunya sistem sosial tersebut. Batas dari
kebebasan seseorang adalah orang lain. Batas-batas ini dimaksudkan justru untuk
melindungi hak-hak asasi manusia tersebut.
Pesatnya arus informasi yang kita
alami di zaman modern untuk sebagian berpengaruh pula terhadap situasi moral
kita. Kemajuan teknologi telah memungkinkan pertukaran informasi dalam sekejap.
Kejadian di negara yang satu dapat diketahui pada saat yang sama oleh
masyarakat di negara lain. Oleh sebab itu, pemberantasan keterbelakangan dan
kemiskinan suatu bagian dunia bukan hanya tanggung jawab negara yang
bersangkutan tetapi juga negara-negara lain yang lebih maju. Persoalan lain
yang menonjol dalam era globalisasi serta jumlah penduduk yang makin membengkak
sekarang ini ialah masalah konservasi alam. Secara teknis ia menyangkut
cara-cara untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam tanpa merusak habitat,
tidak mengganggu satwa dan tumbuhan liar sebagai plasma nuthfah, serta melestarikan segala sesuatu yang tercipta di
bumi yang terasa semakin sempit ini. Nilai dan manfaat dari pertumbuhan ekonomi
di negara-negara maju ternyata bukan saja dipertanyakan oleh kaum
konservasionis, tetapi juga oleh para ekonom sendiri.
Berbeda dengan etika individual,
etika sosial memiliki keterkaitan antar aspek-aspek yang sangan luas. Etika
sosial di samping menyangkut kedudukan individu di tengah suatu sistem sosial
juga akan memerlukan lebih banyak konseptualisasi maupun aplikasinyang bersifat
multi-facet. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa ia memerlukan pemikiran-pemikiran serius tentang interaksi
antar-manusia, peran negara secara etis, peran penguasa/ pengambil keputusan
dan juga sikap-sikap sosial yang berkembang dalam masyarakat sendiri. Etika
sosial juga mempersoalkan hak setipa pranata, semisal rumah tangga, sekolah,
negara dan agama untuk memberi perintah yang harus ditaati. Bukan berarti bahwa
etika sosial menolak adanya norma dan mencegah berbagai pranata dalam
masyarakat untuk menuntut ketaatan, tetapi yang lebih dari itu adalah kepastian
mengenai pertanggungjawaban. Tidak ada lembaga, pranata, maupun individu yang
berhak menentukan begitu saja bagaimana orang lain harus bertindak.
B.
GARIS-GARIS BESAR LANDASAN ETIKA
Negara Yunani kuno merupakan sumber pemikiran ilmiah yang paling
awal. Dari Yunani muncul pemikir-pemikir cemerlang seperti Socrates (470-399 SM), Plato
(428-348 SM) dan Aristoteles (384-322
SM). Paham kosmosentris, bahwa yang
pertama kali berkembang pada zaman Yunani kuno. Paham ini secara praktis
mengajarkan manusia untuk senantiasa berserah diri pada kehendak alam, sehingga
pola berpikir yang dianut kemudian lebih banyak bersifat fatalistik dan kurang
memiliki daya hidup.
Perubahan nyata terjadi pada zaman Renaissance (sekitar abad ke-15)
ketika orang tidak hanya menggantungkan diri kepada kehendak alam secara total
tetapi mulai tumbuh “rasa percaya diri” untuk bertindak. Berikutnya kita akan
membahas secara ringkas berbagai macamaliran yang menjadi landasan etika.
1. Naturalisme
Paham ini berpendapat bahwa sistem-sistem etika dalam kesusilaan
mempunyai dasar alami, yaitu pembenaran-pembenaran hanya dapat dilakukan
melakukan melalui pengkajian atas fakta dan bukan atas teori-teori yang sangat
metafisis. Naturalisme juga
berpendapat bahwa manusia pada kodratnya adalah baik, sehingga ia harus dihargai dan menjadi ukuran. Dengan begitu, diharapkan penjabaran
atas perilaku akan memperoleh asas yang tetap. Namun, kelemahan yang muncul
ialah bahwa pandangan seperti ini dalam kenyataan menjabarkan “yang seharusnya”
dari “yang ada”, suatu akur pemikiran yang bisa menyesatkan. Aliran ini
mengilhami paham vitalisme (vita=
kehidupan) yang salah seorang tokohnya adalah Nietzsche. Vitalisme
berpendapat bahwa perilaku yang baik ialah perilaku yang menambah daya hidup,
sedangkan perilaku yang buruk adalah yang merusak daya hidup. Paham ini
mengundang kritik karena sistem kefilsafatannya yang mengandung pertentangan
logika. Vitalisme menginginkan
kehidupan alami, tetapi justru menginginkan kematian roh.
2. Individualisme
Emmanuel Kant adalah salah seorang filsuf yang senantiasa menekankan bahwa
setiap orang bertanggung jawab secara individual bagi dirinya. Memang esensi
individualisme adalah ajaran bahwa di dalam hubungan sosial yang paling pokok
adalah individunya. Segala interaksi dalam masyarakat harus dilakukan demi
keuntungan individu. Dampak positif dari individualisme adalah terpacunya
prestasi dan kreatifitas individu. Pandangan yang mirip dengan individualisme
muncul dari orang-orang yang menganut paham liberalisme. Liberalisme berpendapat
bahwa setiap individu berhak menentukan hidupnya sendiri. Pandangan ini bermula
dari keyakinan bahwa pada dasarnya setiap manusia terlahir bebas. Masalahnya
adalah bahwa pilihan tindakan yang diambil oleh seseorang sering kali
mengganggu kebebasan orang lain yang bertindak sesuai dengan pilihannya
pula.
3. Hedonisme
Titik
tolak pemikiran hedonisme ialah pendapat bahwa menurut kodratnya manusia selalu
mengusahakan kenikmatan (bahasa Yunani, hedone=
kenikmatan), yaitu bila kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan memperoleh
kenikmatan sepuas-puasnya. Pendapat ini bermula pandangan dari Aristippus, seorang pendiri mazhab Cyrene (sekitar 400 SM) dan juga Epicurus (341-271 SM), bahwa mencari
kesenangan adalah kodrat manusia. Sayangnya, dalam kenyataan kita melihat bahwa
kaum hedonis tidak pernah mencapai tujuannya. Bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa manusia akan senantiasa mengejar kenikmatan ternyata tidak lengkap.
Sempalan pemikiran dari paham hedonisme antara lain terungkap dalam pola Materialisme. Gagasan utamanya adalah
bahwa pada dasarnya alat pokok untuk memenuhi kepuasan manusia adalah materi,
manusia tidak lagi memiliki hakikat sebagai manusia jika melepaskan diri dari
materi. Selain itu, terdapat pula paham yang bermula dari tulisan Karl Marx, yang bisa disebut sebagai Marxisme. Ada kemiripan antara paham ini
dengan Hedonisme dan Materialisme, hanya saja Marxisme mencoba membalikkan logika
etisnya dari fakta bahwa setiap manusia memiliki rasa lapar, memiliki kehendak
untuk melestarikan diri atau untuk hidup. Lebih lanjut Marxisme melihat bahwa pertimbangan kesusilaan sering kali
ditentukan oleh kepentingan.
4. Eudaemonisme
Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu Demon yang bisa berarti roh pengawal yang baik, kemujuran atau
keuntungan. Orang yang telah mencapai tingkatan. Eudaemonia
akan memiliki keinsyafan tentang kepuasan yang sempurna, tidak saja secara
jasmani tetapi juga rohani. Eudaeomnisme mencita-citakan suasana batiniah yang
disebut bahagia. Lebih dari itu,
secara psikologis manusia ternyata tidak semata-mata mengusahakan kebahagiaan,
ada juga orang yang lebih menyenangi nestapa untuk mencari tujuan hidup. Sebuah
ungkapan ironis barangkali dapat menggambarkan masalahnya “barang siapa berbuat
kebaikan untuk kebahagian berarti kehilangan kebahagiaan”. Kaum Stoa yang
mengajarkan Stoisisme, pernah
mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan manusia harus menggunakan akal
pikirannya. Keberatan yang dapat diketengahkan atas pemikiran stoisisme ini
ialah bahwa dalam kenyataan tidak mungkin ada manusia yang tidak terpengaruh
oleh apa pun. Kebijaksanaan yang sempurna tak pernah dimiliki oleh seseorang
anak manusia. Hal lain yang menunjukan kelemahan stoisisme adalah ketakutannya
akan perasaan. Padahal keutuhan manusia akan sirna jika ia sudah tidak memiliki
rasa. Seorang manusia yang berusaha mengendapkan perasaan, mencari kebijaksanaan, atau hidup menyendiri
terkadang tidak lebih dari seorang pengecut yang tidak berani menghadapi
tantangan dalam masyarakat ramai serta menghindar dari permasalahan yang
sebenarnya.
5. Utilitarianisme
Inilah
salah satu paham yang sampai sekarang menjadi bahan perdebatan di kalangan
filsuf. Pembela utama dari ajaran utilitarianisme adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John
Stuart Mill (1806-1873). Utilitarianisme mengatakan bahwa ciri pengenal
kesulitan pengenal adalah manfaat dari suatu perbuatan. Suatu perbuatan
dikatakan baik jika membawa manfaat atau kegunaan, berguna artinya memberikan
kita sesuatu yang baik dan tidak menghasilkan sesuatu yang buruk. Ungkapan
utilitarianisme yang terkenal berasal dari Jeremy
Bentham : “the greatest happiness of
the greatest number”.
6.
Idealisme
Paham
ini timbul dari kesadaran akan adanya lingkun gan normativitas bahwa terdapat
kenyataan yang bersifat normatif yang memberi dorongan kepada manusia untuk
berbuat. Salah satu keunggulan dari ajaran idealisme adalah pengakuannya
tentang dualisme manusia, bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani.
Berdasarkan aspek ciprta, cipta, dan karsa yang terdapat dalam batin manusia,
kita dapan membagi tiga komponen idealisme. Pertama disebut idealisme
rasionalistik yang mengatakan bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal,
manusia dapat mengenal norma-norma yang menuntun perilakunya. Kedua adalah idealisme
estetik, bertolak dari pandangan bahwa
dunia serta kehidupan manusia dapat dilihat dari perspektif “karya seni”. Lalu
yang ketiga disebut idealisme etik, pada intinya ingin menentukan
ukuran-ukuran moral dan kesusialaan terhadap dunia dan kehidupan manusia.
Dari seluruh pembahasan tentang
berbagai aliran yang mendasari etika ini tampak bahwa setiap ajaran disamping
memiliki keunggulan ternyata juga memiliki kelemahan masing-masing.
Pragmatisme, misalnya, dalam beberapa segi mempunyai keuntungan sebab kita akan
mampu bertindak dan menafsirkan sesuatu secara cepat. Namun, tindakan seperti
itu terkadang terlalu gegabah dan tidak berdasar sama sekali. Jelas bahwa dalam
berbagai kasus kita pun harus bersikap idealis dan mendahulukan moralitas. Akan
tetapi, sering terjadi bahwa orang yang terlalu idealis seringkali tidak
melakukan tindakan apa pun, suatu perbuatan lemah yang menurut paham
utilitarian mungkin dianggap tak berguna.
Dalam sejarah peradaban manusia
sejak abad ke-4 SM para pemikir telah mencoba menjabarkan corak landasan etika
sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Gagasan-gagasan itu kemudian terkumpul
dalam sejumlah great ideas ( The Liang Gie, 1987, menerjemahkannya
dengan “ide agung”) yang sesungguhnya bermula dari kesepakatan terminologis
segala sesuatu yang melandasi moralitas manusia. Sebuah buku berjudul The
Great Ideas: A Syntopicon of Great Books of the Western Worid yang terbit pada tahun 1952 memuat 120 ide
agung dan menyajikan pembahasan menyeluruh atas masing-masing ide tersebut.
Namun, hanya ada enam ide agung yang terdapat dalam tulisan Adler yang
merupakan penajaman dari buku yang pertama tadi.
a.
Keindahan
(beauty)
Prinsip-prinsip
estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap
keindahan. Banyak filsuf mengatakan bahwa hidup dan kehidupan manusia itu
sendiri sesungguhnya merupakan keindahan. Keindahan alamiah dapat dikhayati
dari kenyataan bahwa perilaku alam beserta benda mati, tumbuhan, dan hewan yang
terdapat di dalamnya itu mematuhi hukum-hukum tertentu dari Sang Pencipta.
Keindahan artistik bersumber pada pemahaman jiwa manusia terhadap alam
sermesta. Ia merupakan hasil kecintaan manusia terhadap pola-pola yang menarik
dari pengertiannya mengenai pola alami.
b.
Persamaan
(equality)
Hakekat kemanusiaan menghendaki adanya persamaan antara manusia
yang stu dengan manusia yang lain. Ada beberapa ukuran yang hanya bisa
dikategorikan, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk membedakan manusia
antara lain: ras dan jenis kelamin.
c.
Kebaikan
(goodness)
Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakterisasi dari sesuatu
yang menimbulkan pujian. Perkataan baik (good) mengandung sifat-sifat
seperti persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketepatan. Ide agung
kebaikan sangat erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia.
d.
Keadilan
(justice)
Suatu defenisi tertua hingga sekarang masih relevan untuk
merumuskan keadilan (justice) berasal dari zaman Romawi kuno adalah :
“justitia
est constans et perpetua volutans jus suum cuique tribuendi” (keadilan
ialah kemampuan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa
yang semestinya).
Defenisi inilah yang menjadi landasan bagi Plato untuk menguraikan
teori-teori mengenai keadilan dalam bukunya Res Publica. Keadilan
merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang menciptakan dan
menjaga kesatuannya. Sementara itu,
Rawls mengemukakan dua asas keadilan. Pertama, bahwa setiap orang
hendaknya memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Kedua, bahwa
perbedaan sosial ekonomi hendaknya diatur sehingga memberi manfaat terbesar
bagi mereka yang berkedudukan paling tak menguntungkan serta bertalian dengan
jabatan atau kedudukan yang terbukabagi semua orang berdasarkan persamaan
kesempatan yang layak.
e.
Kebebasan
(liberty)
Secara
sederhana kebebasan dapat dirumuskan sebagai keleluasaan untuk bertindak atau
tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang.
Kebebasan manusia mengandung pengertian :
1.
Kemampuan
untuk menentukan diri sendiri
2.
Kesanggupan
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
3.
Syarat-syarat
yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihan-pilihannya beserta
konsekuensi dari pilihan itu.
f.
Kebebasan
(truth)
Kebenaran
mutlak hanya dapat dibuktikan dengan keyakinan bukan dengan fakta yang ditelaah
oleh teologi dan ilmu agama. Kebenaran ditinjau berdasarkan logika filosofis
dengan mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam
kehidupan sosial.
0 Komentar untuk "ETIKA DAN SEJUMLAH PENGADAIAN NORMATIF"