A.
Antara
Legitimasi Sosiologis dan Legitimasi Etis
Tinjauan etis mengenai kekuasaan (power,
authority) pertama-tama berkenaan dengan masalah legitimasinya. Kata
legitimasi berasal dari bahasa Latin yaitu lex , yang berarti hukum.
Padanan kata yang akgaknya paling tepat untuk istilah legitimasi adalah
kewenangan atau keabsahan.
Weber melihat adanya tiga corak
legitimasi sosiologis melalui konsepsinya tentang domination dalam
masyarakat. Pertama adalah kewenangan tradisional (traditional
domination), bahwa kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan
kepada seseorang berdasarkan keyakinan-keyakinan tradisional. Misalnya,
seseorang diberi hak atau kekuasaan karena ia berasal dari golongan bangsawan
atau dinasti yang memang sudah memerintah untuk kurun waktu yang lama. Jenis
kewenangan ini mirip dengan legitimasi religius. Kedua, kewenangan
kharismatik, yang mengambil landasan pada charisma pribadi sesesorang sehingga
ia dikagumi dan dihormati oleh khalayak. Ketiga, kewenangan
legal-rasional yag mengambil landasan dari hukum-hukum formal dan rasional bagi
dipegangnya kekuasaan oleh seorang pemimpin. Kehidupan kenegaraan yang modern
lebih banyak menggunakan konsepsi kewenangan legal-rasional.
Legitimasi sosiologis menyangkut
proses interaksi di dalam masyarakat yang memungkinkan sebagian besar kelompok
sosial setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka dalam periode pemerintahan
tertentu. Ini ditentukan oleh keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa
wewenang yang melekat patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat
sudah memiliki keyakinan tersebut, kekuasaan tersebut dianggap absah secara
sosiologis. Singkatnya, legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme
motivatif mana yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang
penguasa. Beberapa ciri yang spesifik mengenai legitimasi etis.
Pertama, kerangka legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang
menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan
kekuasaan. Hal yang dipertanyakan dalam hal ini adalah apakah kedudukan
seseorang yang punya hak untuk mengatur perilaku sejumlah besar orang itu
memang telah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai moral.
Kedua, legitimasi etis berada di belakang setiap
tatanan normative dalam perilaku manusia. Etika menjadi landasan dari setiap
kodifikasi peraturan hukum pada suatu negara. Oleh karena itu, paham etis tidak
dilecehkan oleh perubahan situasi kemasyarakatan atau positivitas hukum.
Dialang yang justru menjadi kekuatan pokok yang menopang aturan-aturan hukum
yang terdapat dalam masyarakat.
Akhirnya,
karena etika tidak mendasarkan diri pada pandangan-pandangan moral de facto yang
berlaku dalam masyarakat saja, legitimasi etis tak akan pernah dibatasi oleh
ruang dan waktu.
B.
Legitimasi
Kekuasaan Negara Menurut Beberapa Pemikir
Unsur pokok yang biasanya dikaitkan
dengan negara adalah:
1.
Penduduk
atau sekelompok orang, yang jumlahnya relatif besar
2.
Wilayah/
teritori yang pasti
3.
Organisai
politik atau sistem pemerintahan yang mengorganisasi kelompok tersebut ke dalam
suatu “tubuh politik”
4.
Kedaulatan
(sovereignty)
Beberapa
pemikiran dari filsuf dan ahli kenegaraan mengenai persoalan kekuasaan negara ;
1.
Plato
Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang
berkuasa adalah seorang yang bijaksana . Kebijaksanaan (wisdom)
kebanyakan dimiliki oleh seorang filsuf. Maka konsepsi tentang “filsuf raja”
atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai inti teori Plato mengenai kekuasaan
negara. Selain itu, Plato mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika
setiap potensi individu terpenuhi. Oligarki musti dicegah untuk menghindari
supaya kelas penguasa tidak justru melayani diri sendiri. Jika dibandingkan
dengan kondisi negara-negara modern sekarang ini, model Plato terasa sangat
utopis.
2.
Thomas
Aquinais
Masalah keadilan diterjemahkannya ke dalam dua bentuk yaitu pertama,
keadilan yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan
yang sesuai dengan azas-azas distribusi pasar, dan kedua, menyangkut
pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat.
Kemudian, St. Thomass aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan
jenis-jenis hukum berikut ini menjadi tiga.
a.
Hukum
abadi (Lex Eterna)
Kebenaran
dari hukum ini ditunjang oleh kearifan ilahi yang merupakan landasan dari
segala ciptaan.
b.
Hukum
Kodrat (Lex Naturalis)
Menurut
Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Itu
berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang,
membangun dan menemukan identitasnya, serta dapat mencapai kebahagiaan. Aquinas
menolak segala paham kewajiban yang tidak absah dan tidak sesuai dengan
martabat manusia.
c.
Hukum
Buatan Manusia (Lex Humana)
Hukum
ini dimaksudkan untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai
kebajikan dan keadilan. Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia
hendaknya sesuai dengan hukum kodrat. Secara radikal dia menegaskan bahwa hukum
yang bertentangan dengan hukum kodrat tidak meiliki status hukum melainkan
justru merupakan “penghancuran hukum” (corruptio legis). Dalam hal
kekuasaan raja atau negara, Aquinas menggolongkan dua corak pemerintahan,
yaitu: pemerintahan despotik dan pemerintahan politik. Pertama adalah
pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan, sedangkan yang kedua adalah
pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai kelompok individu
yang bebas. Yang kita perlukan ialah kondisi yang bisa mencegah bahwa negara
tidak punya kesempatan untuk mendirikan pemerintahan depotik. Sebaliknya
kekuasaan harus memihak kepada rakyat (populus) atau masyarakat umum (public).
3.
Niccolo
Machiavelli
Pada saat Niccolo machiavelli menulis pemikiran-pemikirannya
tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecah belahnya kekuasan di Italia
dengan banyak munculnya negara-negara kota yang rapuh. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa ajaran-ajarannya kemudian mengandung sinisme yang keras terhadap
moralitas di dalam kekuasaan.
Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa
tindakan-tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal saja
penguasa mencapai sukses. Bahwa, kekejaman asal dipakai secara tepat, merupakan
sarana stabilitasi kekuasaan raja yang mutlak ada. Beberapa pernyataannya yang
ekstrim mengenai pentingnya kekuasaan dapat dilihat dari kutipan berikut.
Oleh
karena itu, raja harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa sehingga kalau
ia tidak dicintai rakyatnya, setidak-tidaknya ia tidak dibenci.
.....kalau
raja berperang bersama pasukannya dan memimpin pasukan yang besar, ia tidak
perlu merasa khawatir disebut kejam. Karena tanpa sebutan itu, ia tidak akan
pernah dapat mempersatukan dan mengatur passukan.
Walau terdapat kelemahan-kelemahan mencolok dalam pemikiran
Machiavelli, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai
berai karena adanya intrik politik yang berkepanjangan. Setidak-tidaknya telah
menegaskan bahwa suatu pemerintahan tidak seharusnya bertindak
setengah-setengah.
4.
Thomas
Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologis terhadap
motivasi tindakan manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan
dan keinginan yang terkadang absurd, licik, dan emosional. Semua itu akan
berpengaruh apabila seseorang manusia mengenggam kekuasaan.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia,
mencegah kekacauan, dan mengatasi anarki, kita tidak mungkin mengandalkan
kepada imbauan-imbaauan moral. Negara harus membuat supaya manusia-manusia itu
takut, dan perkakas utama yang mesti digunakan adalah tatanan hukum. Hobbes
adalah orang yang pertama kali menyatakan dengan pasti paham positivisme hukum;
bagi Hobbes hukum di atas segala-galanya. Sesuatu dianggap adil apabila itu
sesuai dengan undang-undang, betapapun buruknya. Kesimpulan pemikiran Hobbes
bahwa pembatasan konflik itu dilakukan melalui saran hukum.
5.
Jean-Jacques
Rousseau
Rousseau memandang ketertiban yang dihasilkan sebagai akibat dari
hak-hak yang sama. Rousseau berangkat dari asumsi bahwa ada dasarnya manusia
itu baik. Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan
kebebasan dan kesejahteraan individu.
Guna menangani
konflik-konflik yang akan selalu ada dalam masyarakat, Rousseau mendesakkan
persamaan demi tujuan-tujuan yang lebih besar. Dia mengandaikan bahwa keinginan
umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. dalam melihat dua
sisi kepentingan ini, Rousseu mengatakan:
Para warga negara setuju terhadap
semua hukum, terhadap undang-undang sah yang bermaksud jahat kepadanya, dan
bahkan terhadap undang-undang yang menghukumnya bila ia berani melanggarnya.
Keinginan yang tidak berubah dari semua anggota negara adalah keinginan umum;
melalui hal itulah mereka menjadi warga negara dan bebas. Ketika undang-undang
diajukan dalam majelis rakyat, apa yang diminta dari mereka sebenarnya, apakah
mererka menyetujui usulan itu atau menolaknya, tetapi apakah ia sesuai atau
tidak dengan keinginan umum, yang adalah keinginan mereka sendiri; lalu
msing-masing dalam memberikan suaranya menyatakan pendapatnya; dan dari
perhitungan suara diperoleh pernyataan keinginan umum.
Inilah landasan
dari konsep kontrak sosial Rousseau yang begitu memikat. Segala bentuk
kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, dan
karena itu orang harus melihat kebebasan itu justru pada kesamaan yang
terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia.
Dia ternyata telah menjungkirbalikkan logika secara a posteriori dengan
mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan
dan kesejahteraan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi hendaknya
tidak lagi menganggap dirinya sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan
yang disebut komunitas.
1 Komentar untuk "BEBERAPA KONSEPSI TENTANG LEGITIMASI KEKUASAAN, BIROKRASI, DAN ADMINISTRASI NEGARA"
wah ini nih yang sara cari-cari seumur hidup saya. Mantap mas