JUAL BELI DALAM ISLAM

Pendapat  4 Imam

      1.       Imam As-Syafi’i
Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:
1.    Berjual beli sebelum penjual memilikinya.
2.    Berada dalam spekulasi (Mukhathorah).

      2.       Imam Malik
Imam Malik menyatakan: Dan menurut yang kita lihat –wallahu A'lam-  (jual beli) ini adalah seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.

3.       Imam Hanafi
Mazhab Hanafi menganggap bahwa murabahah ini adalah sah hukumnya dengan pertimbangan terpenuhinya syarat-syarat yang mendukung adanya suatu akad jual beli dan juga karena adanya beberapa pihak yang membutuhkan keberadaan transaksi ini.

4.       Imam Hambali
Hambali mengatakan bahwa semua biaya yang langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan dapat menambah nilai barang yang dijual tersebut. 



Menurut para pemikir

     1.       Imam ad-Dardier
Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.

2.       Syeikh Abdul Aziz bin Baaz
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.

             3.       Syeikh Bakr Abu Zaid
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani.

Fatwa DSN
Transaktor
  • Transaktor terdiri atas pembeli (muslam) dalam hal ini nasabah dan penjual (muslam ilaih) dalam hal ini bank syariah.
  •  Kedua transakstor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dankemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa danlain yang sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukandengan izin dan pantauan dari walinya.
  •  Terkait dengan penjual, fatwa DSN no 05/DSN-MUI/IV/2000 mengharuskanagar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas danjumlah yang telah disepakati.
  • Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yangdisepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatandan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.

Menurut pendapat sendiri

Apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali setelah adanya izin kebolehannya.
0 Komentar untuk "JUAL BELI DALAM ISLAM"

Back To Top